Dari Gilgal ke Golgota, Setia Menjadi Anak-anak Pendamaian

Dari Gilgal ke Golgota, Setia Menjadi Anak-anak Pendamaian

Ibadah Minggu, 30 Maret 2025
Tema Liturgi: Ikut Dikau Saja Tuhan
Tema Khotbah : Dari Gilgal ke Golgota, Setia Menjadi Anak-anak Pendamaian
Bacaan : Yosua 5 : 9-12; Mazmur 32; 2 Korintus 5 : 16-21; Lukas 15 : 1-3; 11b-32

Dalam kehidupan yang terus bergerak dinamis, manusia dihadapkan pada berbagai tantangan baru yang sering kali tak terduga. Baik dalam dunia pendidikan, pekerjaan, maupun kehidupan pribadi, setiap individu dituntut untuk terus beradaptasi dan menata diri.

Pendeta GKJW Sidoarjo, Pdt. Kristanto MTh, dalam khotbahnya Minggu Pra Paskah ke IV pada 30 Maret 2025 mengajak umat untuk melihat tantangan tersebut sebagai bagian dari proses pembaruan hidup yang berkelanjutan.

Menurut Pdt. Kristanto, berbagai perayaan keagamaan seperti Ramadan, Nyepi, dan Prapaskah memiliki benang merah yang sama, yaitu mengajarkan manusia untuk mampu mengekang diri, menata kehidupan, serta mengarahkan diri kepada hal-hal yang lebih baik.

“Masa-masa prapaskah yang berkelindan dengan Nyepi dan Ramadan pada dasarnya mengajak kita menjadi pribadi yang lebih kuat dalam menghadapi tantangan hidup,” ujarnya.

Dalam konteks sejarah keimanan, Pdt. Kristanto mengingatkan bahwa bangsa Israel juga menghadapi tantangan besar ketika memasuki Tanah Kanaan.

Mereka harus menghadapi kehidupan baru dengan komitmen iman yang diperbarui. Peristiwa di Gilgal yang dicatat dalam kitab Yosua menjadi simbol penting tentang bagaimana iman menjadi dasar utama dalam menghadapi perubahan.

Gilgal, yang berarti Tuhan menghapuskan cela Mesir, melambangkan pembebasan dari belenggu masa lalu. Ketika bangsa Israel tiba di tanah yang baru, mereka diperintahkan untuk melakukan sunat sebagai tanda kesetiaan kepada Tuhan.

Tradisi ini menunjukkan pentingnya komitmen iman sebelum memasuki fase kehidupan yang baru. “Dalam kehidupan modern, prinsip ini tetap relevan. Kita perlu membangun dasar iman yang kuat agar mampu menghadapi perubahan dengan sikap yang benar,” kata Pdt. Kristanto.

Dalam kehidupan sehari-hari, tantangan baru bisa datang dalam berbagai bentuk: perubahan dalam pekerjaan, dinamika rumah tangga, atau bahkan kejadian tak terduga seperti bencana alam. “Kita mungkin tidak selalu bisa memprediksi apa yang akan terjadi, tetapi kita bisa mempersiapkan diri dengan iman yang kokoh dan sikap yang terbuka terhadap pembaruan hidup,” tambahnya.

Pdt. Kristanto juga menyoroti tantangan yang dihadapi saudara-saudara di Thailand dan Myanmar, yang bukan hanya berjuang menghadapi tekanan dari penguasa, tetapi juga harus bertahan di tengah bencana alam. Ini menjadi pengingat bahwa di berbagai belahan dunia, orang-orang harus menghadapi ujian iman yang nyata.

Dalam refleksinya, Pdt. Kristanto mengajak umat untuk tidak melupakan esensi iman dalam menjalani kehidupan. “Jangan sampai seperti bangsa Israel yang melupakan iman mereka selama 40 tahun di padang gurun. Kita harus terus merawat dan menghidupi iman kita, agar siap menghadapi dinamika kehidupan yang penuh tantangan,” pesannya.

Sebagai penutup, beliau mengajak umat untuk menjadikan iman sebagai pijakan dalam menghadapi tantangan baru.

“Iman kepada Yesus adalah bentuk sunat yang baru. Ia menghapus kehidupan lama dan membawa kita pada pembaruan yang sejati. Dengan iman yang kuat, kita bisa terus melangkah maju dalam kehidupan, menghadapi tantangan dengan keteguhan hati dan keyakinan akan penyertaan Tuhan.”tegasnya.

Refleksi ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa perubahan adalah bagian dari kehidupan. Namun, dengan iman dan komitmen yang teguh, kita bisa menghadapinya dengan penuh keyakinan dan harapan akan masa depan yang lebih baik. (ted)

Teddy Ardianto

Leave a Reply