
Pdt Simon: Kasih Sejati Memberi Secara Total, Seperti Yesus Membasuh Kaki Muridnya
SIDOARJO – Dalam ibadah bersama Jemaat GKJW Sidoarjo, minggu paskah tanggal 18 Mei 2025 yang dilayani oleh Pdt. Simon Rachmadi, Ph.D, dosen bidang Sistematika dan Spiritualitas Kristiani di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta dengan tema “Menebar Kasih Melalui Tutur Kata dan Perbuatan.”
Dalam khotbah tersebut, ia menekankan bahwa kasih sejati hanya dapat ditebarkan apabila seseorang memiliki iman yang sehat.
Dalam perkenalan singkatnya, Pdt. Simon menyampaikan bahwa dirinya adalah pendeta di GKJ Nehemia Jakarta yang sebagai pengajar di STFT Jakarta.
Ia juga menyoroti perbedaan tradisi antara GKJW dan GKJ, termasuk simbolisasi warna toga yang dikenakannya saat berkhotbah yang memakai hitam sementara di GKJW adalah putih. Hal ini, katanya, mencerminkan kekayaan keberagaman dalam kekristenan, yang seharusnya tidak menghambat komunikasi iman.
Menurutnya, menebar kasih bukanlah tindakan fisik seperti menebar benih secara harfiah, sebab kasih bersifat rohani.
Kasih, kata dia, “mengalir seperti udara, memberi aura dan suasana,” dan tidak bisa dipaksakan atau diperintahkan secara langsung. “Kita tidak bisa menyuruh orang, ‘ayo dong cintai!’ Karena kasih itu lahir dari iman yang benar,” tegasnya.
Pdt. Simon menjelaskan bahwa iman yang sehat memiliki dua sisi penting, yakni percaya kepada Allah dan mempercayakan diri kepada-Nya.
Keduanya harus berjalan seimbang, seperti proses bernafas: menarik dan menghembuskan nafas. Jika hanya percaya namun tidak berserah, atau sebaliknya, maka iman itu belum utuh.
“Iman yang salah bisa membuat orang tampak membela Allah, tetapi justru tidak takut akan Allah,” ujarnya.
Melalui refleksi atas bacaan Alkitab dari Kisah Para Rasul, Mazmur 148, Wahyu, dan Injil Yohanes, Pdt. Simon mengajak umat memahami bahwa kasih yang sejati adalah kasih yang memberi diri secara total—seperti Kristus yang rela membasuh kaki murid-murid-Nya.
Bacaan dari Kisah Para Rasul, katanya, mengajarkan bahwa semua ciptaan Allah itu baik, dan tidak boleh dikotak-kotakkan. Sedangkan Mazmur 148 mengajak seluruh alam semesta memuji Tuhan—sebuah pujian yang dikemas dalam kata “Haleluya”, yang berarti “sudah layak dan sepantasnya.” Ini, menurutnya, menegaskan bahwa segala sesuatu dari Tuhan adalah halal dalam arti spiritual.
Sementara dalam Wahyu, hadirnya Yerusalem baru menggambarkan kesatuan antara Allah dan manusia seperti pengantin yang bersatu. “Inilah lambang perjodohan antara manusia dan Allah, persekutuan ilahi yang utuh,” jelasnya.
Mengakhiri khotbah, Pdt. Simon memberikan ilustrasi sederhana namun mendalam tentang anak ayam yang harus menetas sendiri dari telurnya agar bisa bertumbuh kuat.
“Suatu hari, saya teringat pengalaman sederhana namun sangat bermakna ketika saya masih melayani di Solo. Di gereja saat itu, ada seorang koster (penjaga gereja) yang beternak ayam. Suatu waktu saya melihat telur ayam mulai menetas. Naluri saya sebagai manusia ingin segera membantu anak ayam yang sedang berjuang keluar dari cangkangnya,” katanya.
Namun, dengan segera si koster berkata, “Jangan, Pak Pendeta.” Saya bertanya, “Kenapa?”
Ia menjawab, “Biar anak ayam itu berusaha sendiri. Kalau ditolong, dia justru bisa mati. Dia akan menjadi lemah. Tapi kalau dia bisa membelah cangkang itu sendiri dan lahir dengan kekuatannya, dia akan tumbuh kuat.”
Pdt Simon merenungkan hal ini dalam terang iman kita. Bukankah hidup orang percaya sering kali seperti anak ayam dalam telur itu? Kita bergumul, merasa terjepit, dan berjuang keras dalam berbagai tantangan hidup. Kadang kita berseru kepada Tuhan, “Tuhan, mengapa Engkau tidak menolongku?”
Namun sesungguhnya, dalam ketidakterlihatan pertolongan itu, Tuhan sedang benar-benar menolong. Pertolongan Tuhan tidak selalu hadir dalam bentuk kemudahan instan atau jalan pintas.
Kadang, cara Tuhan menolong adalah dengan tidak menolong—dalam artian, Ia membiarkan kita berjuang sendiri. Tapi justru melalui perjuangan itulah, otot iman kita dikuatkan, kedewasaan rohani kita dibentuk, dan kasih kita kepada Yesus dimurnikan.
Iman sejati tumbuh bukan dalam kenyamanan, melainkan dalam proses panjang yang kadang menyakitkan.
Dan dari proses itulah kita belajar mencintai Yesus bukan karena berkat-Nya, tapi karena pribadi-Nya. Cinta yang murni tidak bisa dipaksakan atau diminta. Cinta kepada Kristus tumbuh ketika kita sadar, dalam pergumulan paling berat pun, Ia tidak pernah meninggalkan kita—meskipun seolah tidak turun tangan.
Begitu pula manusia dalam pertumbuhan iman dan cinta—Tuhan tidak selalu ‘menolong’ secara langsung agar kita tumbuh melalui proses dan perjuangan.
“Kalau Tuhan tidak menolong secara kasat mata, bukan berarti Ia tidak peduli. Justru di situlah Ia sedang menguatkan kita untuk bisa mencintai dengan murni,” pungkasnya.
Leave a Reply