Jejak Rohani Sidoarjo Menuju Aditoya: Ziarah Sunyi di Kaki Gunung Wilis

Jejak Rohani Sidoarjo Menuju Aditoya: Ziarah Sunyi di Kaki Gunung Wilis

Pagi itu, langit Sidoarjo menggantungkan awan tipis yang tak lekas mengurai. Seakan menjadi selimut lembut bagi rombongan kecil—sekitar lima belas orang warga Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW)—yang perlahan meninggalkan hiruk-pikuk kota.

Mereka bukan sekadar bepergian, mereka sedang menuju sebuah ziarah: menyambangi akar spiritual, menapak jejak leluhur di Jemaat Aditoya, Nganjuk.

Perjalanan membentang satu setengah jam. Tol panjang mengantar mereka melintasi lanskap berganti, dari beton ke hijaunya persawahan Kecamatan Loceret.

Perlahan, jalan membawa mereka lebih dalam—ke sebuah dusun tenang bernama Dusun Aditoya, yang tersembunyi di pelukan Lemah Putih, Jatigreges, Kecamatan Pace Kabupaten Nganjuk, di lereng sejuk Gunung Wilis.

Dusun Aditoya tak besar, tapi memeluk hangat 88 kepala keluarga Kristen yang hidup berdampingan dengan alam.

Meski udara di sana sedikit lembab dan sumuk namun bersih, dan penuh harum tanah basah. Sebuah rasa damai seperti menyambut siapa pun yang datang dengan niat bersih dan hati terbuka.

Begitu memasuki area dusun, Salib-salib yang berdiri tegak seolah bercerita. Mereka baru saja merayakan Paskah—perayaan kebangkitan, kemenangan atas kematian, dan pengharapan baru.

Salib-salib itu tak hanya berdiri sebagai simbol, melainkan sebagai saksi bisu akan keteguhan iman di tengah pelosok.

Gereja jemaat Aditoya tampil sederhana, dicat warna oranye yang hangat, dengan simbol ikan di atas pintunya. Ichthys — Iktus begitulah orang menyebutnya atau ‘Yesus Kristus’.

Simbol yang dulu, di masa penganiayaan, digunakan umat Kristen awal untuk saling mengenal dalam sunyi dan sembunyi.

Kini, di sini, simbol itu bersinar terang, tanpa takut, menjadi lambang keberanian iman yang tak pernah padam.

Sesaat setelah menginjakkan kaki di pelataran, aroma khas menyambut: kopi hangat dan teh tersaji berdampingan. Tidak ada sambutan yang lebih tulus selain secangkir wedang yang mengepul di udara pagi.

Ramah tamah di jemaat Aditoya Nganjuk

Di sampingnya, camilan khas pedesaan: polo pendem yang lembut, pisang goreng yang renyah, kacang tanah rebus yang akrab, dan lemet yang legit.

Bersama makanan sederhana itu, tersaji juga kisah—tentang kepercayaan yang dijaga, tentang warisan rohani yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Dan di tengah keheningan Aditoya yang bersahaja, rombongan dari Sidoarjo seperti menemukan bukan hanya leluhur, tapi juga bagian dari diri mereka sendiri yang selama ini mungkin tercecer di tengah kesibukan kota.

Ziarah ini bukan sekadar perjalanan ke tempat. Ia adalah perjalanan pulang—menuju akar yang menghidupi, dan iman yang menyinari langkah.

Dalam suasana kehangatan itu, Ketua Rombongan, Adi Indarto, menyampaikan sepatah dua patah kata yang menjelma menjadi pesan mendalam:

“Kunjungan ini bukan sekadar silaturahmi antar jemaat,” ujar Adi Indarto, suaranya tenang namun penuh makna. “Ini adalah perjalanan pulang secara rohani—karena kami menyadari bahwa para pendahulu kami, dari Sidokare dan Aditoyo, dahulu pernah bersama-sama merintis Pasamuwan Jawi yang pertama-tama.”katanya

Adi melanjutkan, “Dari relasi sejarah itu tumbuh benih iman dan semangat pelayanan yang hingga hari ini masih terus menyala dalam diri kita. Kita adalah gereja yang hidup di tengah tanah Jawa dan Nusantara, dan kami merasa bersyukur serta terinspirasi ketika mendengar kabar bahwa GKJW Aditoya kini dikenal sebagai jemaat yang membangun kekuatan ekonomi melalui pertanian organik.”

Tak hanya sebagai tempat berdoa, lanjut Adi, gereja juga harus hidup dalam realitas umatnya.

“Ini adalah kesaksian nyata bahwa gereja bukan hanya berbicara di mimbar, tetapi juga hadir dan relevan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dunia yang sedang mencari arah dan harapan, kesaksian seperti inilah yang menjawab panggilan zaman—gereja yang menyatu dengan tanah, dengan petani, dan dengan kehidupan riil umatnya.”


Dalam rombongan dari GKJW Sidoarjo adalah:

  • Pdt. Simon Rachmadi, PhD., Dosen Teologi Filsafat dari Jakarta
  • Ispiyanto, Ketua Komisi Pelayanan dan Kesaksian (KPK)
  • Negari Karunia Adi, Anggota KPK
  • Bu Purwati, Ketua Pokja Diakonia GKJW Sidoarjo
  • Yuni, anggota pengurus Diakonia
  • Yayuk, Ketua Pokja PEW
  • Teguh Iman, Bendahara Jemaat Sidoarjo
  • Imanuella, perwakilan KB. FKUB
  • Edi Tertius, Ketua KRW Nazaret
  • Puji Sanyata, PHMJ Bidang 2
  • Ibu Sri Bagyo, anggota PEW dan pengrajin songke
  • Pak Eko Hartomo, Ketua KPPCK
  • Teddy AH, Ketua Pokja Kopoltase Jemaat Sidoarjo
  • Ina Bambang, Ketua Pokja Beasiswa
  • Mieke Kristanti, perwakilan KPPM

Mereka datang bukan sebagai tamu, melainkan sebagai keluarga besar yang tengah mengenang akar, menyalakan semangat lama dengan wajah baru. Aditoya menjadi ruang perjumpaan, bukan hanya antar-jemaat, tapi antara sejarah dan masa depan, antara tanah dan iman, antara kata dan kesaksian nyata.

Gereja ini bukan sekadar tempat ibadah biasa; ia adalah saksi sejarah dari perjalanan panjang dan sunyi lahirnya Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW).

Pendeta W. Kristian Wijaya menyebutnya sebagai “gereja perdana”, tempat di mana jejak-jejak pertama GKJW ditapakkan.

Sebelum struktur sinode terbentuk, sebelum GKJW dikenal luas, Aditoyo sudah lebih dahulu menyalakan api pelayanan dan penginjilan. “Inilah gereja yang menjadi cikal bakal GKJW,” ucap Pdt. Wawuk. “Dan lebih dari itu, jemaat di sini adalah hasil dari proses pemuridan.”

Pemuridan—kata yang kini mulai jarang disebut dalam konteks gereja modern, namun menjadi akar dari berdirinya jemaat ini. Di masa lalu, para leluhur jemaat Aditoyo menempuh jalan rohani yang panjang. Mereka belajar, berguru, dan dimuridkan oleh sosok-sosok seperti Pendeta Jelesma di Kari. Dari proses panjang inilah tumbuh iman yang kuat, yang kemudian menumbuhkan gereja.

Setelah selesai bercengkrama sekitar 1 jam kami kemudian berjalan ke arah bukit dengan melewati sawah yang saat itu terlihat sejumlah warga nampak riang gembira yang sedang memanen hasil jerih payahnya selama berbulan – bulan.

Guru Injil awal mula Jemaat Aditoya R. JOENIJA BARIS

Kami kemudian menuju sebuah punden makam yang rindang dibawah pohon jati. Sebuah Nisan yang telah dikijing dengan rapi tertulis guru injil Awal Mula. R. JOENIJA BARIS Lahir: 15 Oktober 1865, Baptis: 26 November 1865, Sidhi: 24 Mei 1885, Wafat: 26 Juni 1943. Tertulis di bagian bawah Filipi 1:21 bahasa Indonesia: “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”

Negari Karunia Adi, penulis buku Yesus Kristus Rohullah, menambahkan lapisan sejarah yang lebih mendalam.

Ia menyingkap bagaimana para tokoh penginjil seperti Kartoguno, Yeremia Kariman, Tosari, hingga Kunto dan Anif menganyam benang penginjilan dari Sidokare menuju Aditoyo, Maron, hingga pelosok Madiun dan Wonoasri.

“Sidokare itu dulu gudangnya ilmu para penginjil,” kenangnya. Sayangnya, warisan itu sempat meredup di tengah arus zaman.

Namun sejarah tidak pernah mati. Dari akar Sidokare, tumbuhlah keturunan-keturunan rohani yang menyebarkan Injil ke berbagai wilayah. Salah satunya adalah Pak Junio, anak dari Markus Paris, guru Injil kedua. Hubungan darah dan iman terjalin erat hingga membentuk komunitas rohani yang kokoh dan saling menopang.

Warga Jemaat GKJW Sidoarjo dan Aditoya Nganjuk

Aditoyo bukan hanya lebih tua dari Majawarno—yang sering disebut-sebut sebagai pasamuan pertama GKJW—tetapi juga menjadi bagian dari generasi pertama gereja Kristen Jawa: Toyo, Maron, Luwung, Melaten, Sambirjo, Tunglur, Semampir. Mereka adalah benih-benih awal yang bertumbuh dari tanah subur pemuridan dan penginjilan.

Saa ini, kita mungkin tak lagi mengenal nama-nama seperti Pak Kariman, Pak Tosari, atau Pak Anif. Tapi jejak mereka tertinggal dalam batu-batu gereja yang bisu namun tak lupa. Dalam setiap doa dan kidung jemaat, dalam setiap persekutuan kecil yang bersahaja, semangat mereka masih hidup—menghidupi dan memberi inspirasi.

“Kalau kita mau mengingat masa lalu, kita diingatkan kembali bahwa dulu, di tempat ini, ada guru-guru Injil yang membangun dan menghidupi,” ujar Karunia Adi penuh haru. “Semoga kehadiran kita hari ini bisa menjadi perpanjangan tangan dari warisan itu, dan meneruskan langkah sebagai murid-murid Kristus.”

Dan seperti katakombe—makam-makam bawah tanah yang dulu menjadi tempat berkumpulnya jemaat mula-mula di Roma—Aditoyo berdiri sebagai ruang sunyi tempat sejarah iman disimpan dengan penuh hormat. Di sanalah, bukan hanya batu yang berbicara, tapi juga jiwa-jiwa yang setia menjaga terang kasih Kristus.

Teddy Ardianto

Leave a Reply